Jika masalah pengaburan suatu fakta sejarah yang dilakukan oleh oknum tertentu yang tidak menghendaki ras China sebagai bagian dari Indonesia, maka kita bisa jadikan ini sebagai peta yang dapat dijadikan sebagai penunjuk pada narasi selanjutnya, atau lanjutan sebuah episode yang merupakan suatu gagasan dalam upaya merivitalisasi atau menjahit kain kusut yang dapat dijadikan sebagai pusaka dalam menyongsong suatu era…dimana kita saat itu….???
inesia.Art – Seminar ini adalah momentum dalam perayaan imlek bagi masyarakat China/Tionghoa. Selaìn itu, Setelah menyimak pemaparan dari para nara sumber, seminar ini juga menjadi suatu momentum silaturrahim, berbagi dan suatu upaya atau gerakan dalam menjahit sobekan-sobekan kain kusut di masa lalu yang kemudian menjadi tanggapan dalam menghadapi tantangan era sekarang.
Menyoal pada hal tersebut, upaya yang dilakukan oleh etnis masyarakat Tionghoa yang tergabung dalam Permabhudi (Persatuan Ummat Budha Indonesia) Sulawesi selatan, sebagai langkah dalam memberikan suatu tanggapan terhadap tantangan politik, seni, budaya dan sosial masyarakat saat ini.
Dalam pembahasannya bahwa, sebagai masyarakat China/Tionghoa yang sudah membaur dengan masyarakat pribumi sekian ratus tahun lamanya, sudah sepantasnya masyarakat Tionghoa masuk dalam lima etnis khususnya di Makassar, demikian yang dikatakan oleh Hj. Sittiara Kinang sebagai kepala dinas kebudayaan Makassar.
Masyarakat Tionghoa tidak bisa lagi dikatakan masyarakat pendatang atau tamu di Indonesia oleh karena fakta sejarah mengatakan mereka sudah ada dan berbaur dengan silang budaya dengan bumi putera.
Peranan masyarakat China Tionghoa dalam aspek sosial, budaya, politik, ekonomi, seni dan sebagainya pada kenyataannya seperti yang dikatakan Didi Kwartanada telah menjadi bagian penting dan mengambil peranan penting dalam perjalanan sejarah Indonesia itu sendiri.
Cuma dalam hal ini sistem politik yang dilakukan kolonial Barat di masa lalu menjadi sumber utama keretakan sinergitas antara masyarakat China dan pribumi itu sendiri yang berujung pada timbulnya sikap anti China dalam lingkungan masyarakat Indonesia dari masa ke masa.
Selain itu, etnis Tionghoa juga telah mewariskan budaya dan seni berkontribusi positif dalam perkembangan Indonesia yang lebih maju dan modern. Budaya disiplin, hemat, kerja keras dan menghargai waktu adalah klaim sikap dan budaya yang diwariskan oleh etnis China Tionghoa.
Suatu peristiwa terjadi karena adanya proses interaksi sosial yang meninggalkan suatu rekam jejak sejarah. Demikian hal seperti itu dapat dikatakan atau ditafsirkan sebagai salah satu upaya membuka peta sebagai penunjuk arah yang dapat dilalui dan menuntun kita pada suatu tujuan tertentu.
Ini juga merupakan suatu cara dalam mewujudkan suatu cita-cita sosial, budaya, politik, ekonomi, seni dan sebagainya yang mungkin sempat tertunda karena kondisi adanya suatu daya atau tekanan dari hal lain.
Pada kenyataannya, anti china lahir sebagai bentuk pro aktif atau semacam kontrol sosial yang dilakukan oleh kolonial Barat dimasa lalu. Hal ini juga mungkin yang berlaku sama dalam masyarakat pribumi sebagai etnis dominan.
Ada anggapan terutama dalam peserta seminar bahkan anggapan seperti ini terjadi dalam masyarakat kebanyakan bahwa masyarakat etnis Tionghoa terutama di daerah Makassar khususnya dianggap kurang berbaur dengan masyarakat pribumi.
Bahkan ketika salah satu putri mereka kawin dengan masyarakat pribumi di luar dari pada masyarakat Tionghoa akan dianggap bukan bagian lagi dari keluarga mereka. Selain itu, ada juga perkawinan etnis Tionghoa dan pribumi tetapi hal seperti itu tidak terjadi dan kita bisa melihat hal tersebut di daerah pulau Selayar.
Etnis China Tionghoa di pulau tersebut sangat berbaur dan kawin mawin dengan masyarakat pribumi. Tetapi dari aspek perputaran ekonomi mereka lebih dominan dan menguasai pasar.
Berbeda halnya dengan di daerah kabupaten Jeneponto, daerah ini boleh dikata daerah yang dihuni oleh mayoritas etnis Makassar dan etnis Tionghoa di daerah ini, kita tidak dapat menemukan salah satu di antara mereka. Daerah ini sangat tertutup untuk etnis China Tionghoa.
Pemaparan Yerry Wirawan lebih dominan melihat eksistensi beserta pola-pola interaksi dan proses bersosialisasi etnis China Tionghoa dalam wilayah Makassar saja. Kita ketahui bahwa Makassar adalah merupakan titik pertemuan antara beberapa etnis dari berbagai wilayah mana saja.
Mereka datang dengan maksud dan tujuan sebagai bisnis dagang hasil rempah-rempah dan hasil bumi lainnya, dan sudah pasti mereka menempati wilayah yang dianggap memungkinkan untuk digarap. Berbeda halnya mungkin di daerah Jeneponto, produktifitas lahan pertanian dianggap kurang memadai dan wilayah dagang hanya sampai pada wilayah kabupaten Takalar.
Kabupaten Jeneponto juga tidak bisa dikatakan sebagai wilayah yang anti China Tionghoa, di samping sebagai alasan bisnis yang kurang menguntungkan, barangkali juga hal demikian sebagai suatu prinsip budaya serta penerapan nilai-nilai yang mereka terapkan sebagai sesuatu yang baik bagi mereka.
Sebagaimana dalam pemaparan oleh Alwi Rachman bahwa kita punya suatu keunikan budaya dan perilaku sosial yang belum tentu dimiliki oleh bangsa lain di dunia. Kita sebagai bangsa Indonesia yang mana bangsa ini terbentuk dari beberapa kesatuan suku, bahasa, budaya, seni dan sebagainya menjadi satu.
Hal inilah yang ketika terjadi suatu konflik horisontal atau suatu musibah, bagaimanapun keadaannya, kita hanya berputar-putar dalam wilayah Indonesia saja. Berbeda dengan bangsa lain, ketika ada gesekan, maka mereka cenderung mengungsi di negara lain.
Inilah modal kita sebagai bangsa yang dibentuk oleh prinsip keteguhan dalam mempertahankan nilai-nilai luhur nenek moyang kita sebagai pegangan dalam berbangsa dan bernegara.
Struktur budaya terutama budaya Indonesia adalah hal yang istimewa. Keistimewaan ini ketika tidak di tata dengan baik maka akan berdampak buruk bagi bangsa. Olehnya itu sangat penting membaca pergerakan politik saling benci yang akan menghancurkan bangsa.
Memang bahwa seperti yang dikatakan oleh Alvin Toffler bahwa seiring perkembangan dan pertemuan tehknologi yang semakin deras, maka budaya akan mengalami benturan (gegar) karena peradaban yang sangat cepat. Melalui hal ini, kita juga melihat dan berpatokan pada pendapat Zygmund Bauman bahwa kita harus mempertemukan irisan dalam budaya yaitu antara mimpi dan hasrat. Mimpi membangun bangsa yang lebih baik dan lebih maju dan beradab.
Sama halnya dengan apa yang disampaikan oleh bapak Andi Halilintar Lathief bahwa keberagaman dan pluralistiknya Nusantara/Indonesia adalah suatu anugerah. Akan tetapi anugerah itu akan berbalik menjadi kutukan ketika kita tidak dapat mengelolanya dengan baik.
Sebagai bangsa dengan keragaman budaya, kita punya budaya yang diwariskan oleh nenek moyang kita yang berupa adat-istiadat dan sistim kepercayaan, terutama oleh suku Bugis Makassar yaitu adat Atto riolong- adat dan sistem kepercayaan Bugis Kuno.
Menyoal sedang maraknya isu politik praktis dan saling benci, hujat menghujat sekarang ini, bahkan hal ini dikatakan sebagai darurat politik sebagaimana yang disinggung oleh Alwi Rachman sebagai pemateri dalam seminar nasional Tionghoa tersebut.
Praktik politik kebencian merupakan praktek politik yang dilakukan oleh individu sebagai pemimpin atau kelompok yang merasa diri paling kuat dan paling berkuasa.
Menyinggung masalah ras, berdasarkan sejarah dari pemaparan pemateri Didi Kwartanada dan Yerry Wirawan, China menjadi objek konsumsi anti ras, baik bagi Barat/Eropa maupun pribumi dan pribumi dengan Barat/Eropa.
Apapun itu, mereka sudah ada di Nusantara Indonesia berabad-abad pamanya dan menyimpan sekelumit persoalan di tanah air, hingga melibatkan pada praktek politik tingkat dunia.
Apalagi saat ini ada jargon aseng dan asing yang melibatkan mereka dalam pemilihan gugusan pembentukan parlemen dan kepemimpinan presiden baru di Indonesia. Sudah pasti ini akan seru…kita nantikan hasil dari kiprah perang ideologi aseng dan asing yang akan datang.
Discussion about this post